Senin, 02 Februari 2015

IBU vs DUNIA

Ibu   : "Nih dek, si Memet dibawain buat nyemil-nyemil"
Lulu : "Ga usah buk, lagian dia mana mau nyemil asin begini. Gak suka asin"
Ibu   : "Udahh.. bawain aja. Anak kos ga kaya anak rumahan kaya kamu gini. Pasti ntar kemakan"
Lulu : "Oke deh buk"


Dialog antar ibu dan anak tentang cemilan yang akan dibawakan untuk si doi, pacar Lulu.
Jika kita amati, dialog seperti itu sangatlah sepele saat kita tak mengetahui latar belakangnya.

Jadi begini saya jelaskan,
Ibu, Mama, Bunda, Umi, Nyak, Mami, atau sebutan apapun, adalah wanita keturunan Hawa yang memiliki banyak kelebihan. Kelebihan yang diberikan Tuhan, dimana lelaki sehebat apapun tidak memilikinya. Salah satu kelebihannya adalah rahim. Ya, wanita memiliki rahim sebagai tempat tinggal keturunannya, tempat tinggal sebelum sang anak tinggal di dunia. Ia berlindung di dalam hangatnya rahim dari ketulusan seorang Ibu yang menyayanginya melebihi dari nyawanya. Apa yang dikonsumsi oleh sang Ibu, ialah untuk bayinya. Apa yang dilakukan sang Ibu, ialah dengan mempertimbangkan kesehatan bayinya. Sembilan bulan dilalui bersama-sama. Kita pernah satu tubuh dengan Ibu, sampai Ibu melahirkan kita di dunia ini. Dunia yang tak lagi sehangat dan senyaman saat berada di rahim Ibu. 

Seandainya diberi pertanyaan lagi oleh Tuhan, "Mana yang kamu pilih, Dunia atau Rahim Ibu?", maka tak sampai satu detik akan kukatakan "Di dalam Rahim Ibu". Lantas seandainya Tuhan memberi pertanyaan lagi, "Mana yang kamu pilih, Rahim Ibu atau tak pernah dilahirkan di dunia?". Tak sampai satu detik akah kujawab "Tak pernah dilahirkan di dunia". Mengapa? karena aku tidak mau membuat Ibu sengsara karena aku ingin selalu berada di rahimnya.
Hanya seandainya Tuhan memberiku pilihan seperti itu. Bukan berarti tidak bersuyukur atas apa yang telah diberikan sekarang. 

Dunia, merupakan tempat singgah para makhuk hidup maupun yang telah mati. Di dunia, semuanya terlihat bewarna warni. Jika diumpamakan, dunia bagaikan bunga Teratai yang mengambang di atas air rawa. Dari kasat mata terlihat indah, bewarna jingga kemerah-merahan, menyejukkan jika dipandang, seperti ingin selalu berada di dekatnya bahkan sampai ingin memilikinya. Namun, setelah kita tahu akan tempat tinggal bunga Teratai tersebut berada di air rawa yang kotor dan keruh, maka hanya akan ada rasa penyesalan, takut dan kegelisahan karena telah menyentuh airnya. Semakin kita mencintai dunia, semakin keruh pula hati kita. Dunia itu dingin, kotor, keruh, dan kejam.

Kasihan.. Dunia selalu disalahkan diatas kekejaman manusia-manusia berwajah manis, berotak canggih, namun berhati bengis. Sadis mendengarnya. 
Berjejer rapi di depan, namun riuh di belakang. Banyak manusia yang pandai menyembunyikan. Betul sekali apa kata syair sebuah lagu. Bahwa dunia ini adalah panggung sandiwara. Hampir semua yang dilakukan hanyalah untuk mengisi kekosongan waktu saja. 

Sekarang, kita sedang berada pada masa dimana ketulusan, keikhlasan, kejujuran, kesetiaan, kebaikan, kehormatan, bahkan sampai pada keimanan telah punah bahkan mungkin sebentar lagi akan usai. Dunia ini panas tetapi dingin. Riuh tetapi sunyi. Menyenangkan tetapi suram. Tak sehangat dan senyaman rahim Ibu. 

Kita pernah satu tubuh dengan Ibu. Kerekatan yang sangat dekat antara tubuhku dengan tubuhnya, jiwaku dengan jiwanya, detak jantungku dengan detak jantungnya, darahku dengan darahnya, dan nyawaku dengan nyawanya. Satu tubuh itu menjadikan kekuatan hubungan batin antara anak dan ibu. Dialog di atas contohnya. Seorang Ibu mengatakan seperti itu karena ada alasannya. 

Seorang Ibu hanya menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Seperti Ibu Lulu yang bersikeras meyakinkan kepada Lulu bahwa makanan tersebut harus dibawakan untuk Memet, semata-mata tak hanya karena untuk cemilan Memet. Tetapi sebaliknya, bahwa semata-mata agar putrinya dipandang dan dihargai oleh Memet atas kebaikan dan ketulusannya dalam memperhatikan keadaan Memet. Sekecil "bisa untuk cemilan karena anak kos" pun hal itu sangat penting bagi Ibu untuk menaikkan derajat anaknya dimata laki-laki, terlebih yang mencintainya. Ibu tak ingin anaknya disepelekan oleh lelaki manapun, apapun caranya. Semua demi anaknya tersayang. 

Saya yakin, ibuku, ibumu, ibu mereka pasti melakukan hal seperti ini meski kita tak pernah menyadarinya. Kehangatan akan ketulusan kasih sayang seorang Ibu tak akan ada yang mampu menggatikan, walau seorang suami sholeh pun. 

Jangan pernah malu saat kamu dipanggil "anak mami". Sungguh saya yakin, seorang anak pasti akan lari kembali berteduh dibawah pelukan kasih sayang Ibunya. Mungkin hanya lari kembali, dan bisa saja pergi lagi. Namun Ibu tak kan rela menutup pelukannya dari anaknya meski anaknya hanya menjadikan Ibunya tempat bersandar saja. 


Dunia memang kejam, tetapi Ibu telah mengajarkan kita akan ketulusan dan kasih sayang. Jangan jadikan dunia dan isinya semakin bengis.