Jumat, 31 Mei 2013

Loh kok sendal ku ilaaang ??

Saya mau cerita sedikit mengenai sebuah pengalaman singkat dengan kebudayaan orang luar jawa tanpa ada maksud menyinggung ras. Sekali lagi ini cuma pengalaman singkat saya.

Hari Minggu di bulan Mei 2013 aku digertak untuk menjalankan sebuah tugas kuliah, untuk menjalankan tugas tersebut saya dan kelompok harus menyisiri jalan raya yang padat dan terik sampai pada tempat tujuan kami Imogiri. Pagi itu sebelum berangkat, kami berkumpul terlebih dahulu di asrama milik teman sekelompok saya, sebut saja Mawar. Ia adalah perantau dari Bontang Kalimantan Timur, begitupun dengan teman-teman satu atapnya. Saya datang agak terlambat, sehingga teman-teman yang lain sudah menyambinya dengan menigisi perut. Beberapa menit kemudian, saya dan teman-teman beranjak dari kamar asrama dan menuju ke teras bersiap untuk berangkat. Disitulah tiba-tiba dua teman saya tingak-tinguk kebingungan,

"Loh kok sendal ku ilaaang ??". Pengajuan tanya oleh salah seorang teman saya asal Jogja.
"Iya, sandal ku juga hilaaang". Sahut teman saya yang lainnya, asal luar jawa.

Kami pun bertanya-tanya kemanakah perginya sandal-sandal teman saya ? Setelah kita cari disana dan disini terntaya ada disitu, maksudnya di tong sampah. Heran setengah kaget memang, mengapa sandal merek sowalo milik teman saya ada di tong sampah dengan peletakan yang sangat sengaja. Sembari teman-teman saya yang lain teriak lirih keheranan diiringi pisuhan, kami mencari satu sandal lagi yang hilang entah kemana hanya dalam waktu sekejap. Akhirnya salah seorang teman saya si Mawar mengatakan bahwa ketua asramalah yang membuang sandal-sandal tersebut, karena ia adalah pejabat baru yang memang berwatak keras dan disiplin. Mendengar keterangannya itu kami kompak membentuk huruf O di mulut kami.

Saya pun mencari letak kesalahan kami, ternyata di depan teras tersebut sudah ada perintah untuk meletakkan sandal japit pada rak yang tersedia, namun kami luput karena kebudayaan orang jawa yang jika dibahasakan, "Wes benke wae nanti lak yo ada yang ngrapihin" telah melekat dibenak dan kehidupan kami sehari-hari. Dari situlah aku berpikir bahwa kebudayaan orang luar jawa sangat kontras dengan orang jawa, jika kebudayaan luar jawa saya menyimpulkan bahwa semua yang diperintah harus dilaksanakan, jika melanggar maka akan langsung diberi sangsi tanpa terlebih dahulu mengingatkannya. Beda dengan orang jawa yang cuma bilang "Nyuwun sewu, sandale menika dipun lebetaken wonten rak nggih mas mbak...nyuwun ngapunten, monggo..." jika melihat kesalahan semacam tidak meletakkan sandal ke dalam rak.

Oh iya lupa, ternyata nasib sandal teman saya dibuang dimana hayoo... jeng jeng jeng ternyata diterbangkan di basement alias tempat parkir yang ada di bawah bagunan. Puk-puk teman saya. Untung saya pakai sepatu :p 

-kisah nyata-

Senin, 27 Mei 2013

Faktor X

         Waktu berputar sangat cepat hingga tidak memberiku celah untuk beristirahat sejenak. Capek dan kecewa. Hari demi hari kulalui sia-sia, bagaimana tidak ? jika dalam perkuliahan ini aku merasa tidak mendapatkan keahlian khusus apalagi ilmu yang benar-benar mendarah daging. Semua tampak semu dan seperti fatamorgana. Mengikuti proses kuliah namun tak mengambil intisarinya. Ya, itulah aku. Dan itu kesalahanku. Diluar dunia kuliah, tidak ada yang harus aku banggakan dari diriku. Sudah bertahun-tahun dalam diri ini tidak ada perubahan, fisik dan sedikit psikis. Orang lain berlari sedangkan aku masih duduk santai berangan-angan.  Perubahan yang dialami oleh orang lain berjalan dengan lancar dan semestinya, kini mereka menjadi semakin menonjol dengan derajat yang tinggi. Sangat lain denganku yang masih melamun berangan-angan tanpa melakukan sesuatu untuk berubah. Niat itu ada dan selalu tertanam dalam benak, namun tidak direalisasikan. Aku juga heran, dan mungkin sudah sangat bosan dengan niat ku untuk berubah itu. Peluang terbesar untuk perubahan itu aku rasa hanya satu selain dari diri sendiri, yaitu orang lain, sebut saja faktor X (biar keren) yang menurutku harus diperjuangkan sehingga minimal aku terpaksa berubah demi orang lain itu. Yo wes gitu aja, aku mumet dan sedikit sedih dengan keadaanku yang sekarang intinya, semoga bacaan ini dapat menjadi motivasi bagi orang lain.

Minggu, 26 Mei 2013

Berawal Dari Mirota

Aku tergeletak merenung di kasur dan menemukan sesuatu dalam ingatanku mengenai kejadian dua hari yang lalu. 
Malam hari di sebuah swalayan yang cukup terkenal, bernama Mirota. Saat itu aku diperintah oleh sang ibu untuk belanja bahan-bahan untuk memasak. Seperti biasa, toko penyedia segala macam kebutuhan masyarakat dengan harga mahasiswa itu selalu dipadati oleh pengunjung, alhasil antrian yang panjang juga selalu menghiasi disetiap barisan kasir. Aku pun mengantri tepat di belakang ibu-ibu dengan satu anak, ia berdiri mengantri dengan anak laki-lakinya yang masih kecil sekitar 5 tahunan. Tak lama kemudian sang ibu berbicara pada anaknya tersebut,

"Dek, kamu tunggu sini ya, Ibu mau liat kesana dulu". Jari telunjuknya menunjuk ke arah kebutuhan sandang.

Sembari menunggu antrian panjang, aku pun mengisinya dengan ngepo orang-orang yang sibuk wira-wiri memilih barang yang akan dibeli. Mungkin di dalam kepalanya sedang menghitung balance pemasukan dan pengeluaran. Tapi tak sedikit orang yang hanya jalan-jalan dang ngeceng untuk mengisi waktu *selone naudzubillah*. Beberapa menit mengepo akhirnya antrian bergerak satu langkah, lumayan. Adik laki-laki  lugu di depan ku yang ditinggal oleh ibunya mencari kesibukan dan hiburan sendiri itu pun tak pernah lepas memandangi ibunya dari antrian. Umurnya yang masih labil itu membuatnya tak mau jauh dari ibunya dalam keadaan sesempit apapun (re: ngantri panjang banget). Padahal antrian sudah bergerak maju 4 langkah. Si anak itu pun lari menemui ibunya, dan herannya si ibu tidak segera membawa anaknya kembali ke tempat antriannya lagi. Aku pun menempati posisi antrian si adik tadi sembari mengepo ibu dan anak kecil tersebut. 

Tak lama kemudian, di riuhnya suara dan padatnya orang-orang di dalam toko itu tiba-tiba ada suara yang menggelitik telinga sekaligus otakku. 


"Hei ! kau ini gimana sih ?!! sudah ditunggu daritadi, sudah antri panjang malah kau tinggal pergi?!! BODOH kamu !! kau ini malah ngapain sih ??! (sekali lagi) BODOH kamu!!"


Suara yang tak enak didengar apalagi di tempat umum itu pun terlontar cukup kencang dari seorang bapak-bapak bertubuh pendek, berjenggot tipis, berkulit cerah dan berkacamata yang mengenakan kemeja kaos dan jeans yang rapi. Tatapanku terfokus pada bapak tersebut dan segera kualihkan menuju siapa yang sedang bapak tersebut tatap dan ajak bicara. Ternyata dia sedang membentak istrinya yang ternyata adalah ibu dari anak kecil yang mengantri tepat di depanku tadi. 


Raut muka sang ibu biasa saja seolah tamparan keras kata-kata yang terlontar dari mulut suaminya itu sudah terlalu sering ia dengar. Kemudian ia dan anaknya pun berjalan cepat menuju antrian. Dia mengambil posisi antrian di belakangku. Sebagai cewek yang baik hati dan agak selo *sebenernya lagi terburu-buru tapi kasihan sama ibunya* aku memberinya posisi antrian di depanku seperti posisi awal. Sang ibu pun menurutinya tanpa sekatah katapun terucap. 


Dari kejadian itu aku melamun dan merenungkannya. Apakah orang yang sudah menikah dan menjadi suami istri akan selalu seperti itu? Apakah pantas seorang suami membentak dan memisuhi istrinya sendiri seperti itu? Setauku aku tidak pernah mendengar hal semacam itu dari mulut ayah maupun ibuku. 


Bagiku memang hal itu sangat tidak pantas dan merupakan tindakan yang tidak manusiawi walaupun hanya sekedar perkataan. Mungkin sang suami telah lupa akan janjinya di depan penghulu dan para saksi yang notabene akan menjaga dan memperlakukan istrinya dengan baik hingga tutup usia. Aku sering mendengar janji-janji itu di acara ijab qobul, dan selalu senang tiap mendengar dua mempelai yang saling berjanji akan saling menjaga dan memperlakukan dengan baik antara keduanya, karena cepat atau lambat jika diijinkan, aku pasti akan mengalami ucapan janji di depan penghulu tersebut. Mendengar janji tersebut aku merasa lega karena aku kira janji itu pasti akan ditepati oleh kedua mempelai. 


Kerap aku mendengar dan melihat berita-berita di media mengenai KDRT  bahkan sampai pembunuhan. Keduanya ini sering dialami dalam suatu rumah tangga seseorang, dan kini ditambah lagi dengan kenyataan di depan mata orang-orang yang merpelakukan pasangannya dengan kasar yang menyakiti hati maupun raga.


Ditambah lagi cerita lain. Dalam kronologi singkatnya aku pernah melihat dua pasang suami istri yang bertengkar di pasar (BTC Solo). Sang suami mengejar istrinya hingga berputar-putar, kemudian dari kejauhan sang suami menggunakan komunikasi non verbalnya, mengepalkan tangan tanda mengancam akan memukul ke arah istrinya yang tengah ketakutan mengintip dari manekin-manekin di depan toko.  Aku tidak habis pikir apa sebenarnya yang ada di benak mereka hingga masa kecilnya terulang pada masa tuanya. Kenapa mereka tidak bisa meredam kemarahan jika memang sedang ada masalah dalam rumah tangganya? Dan mengapa harus di tempat umum? Tidak cukupkah ruang rumahnya untuk tempat mereka berdisukusi dan mengkomunikasikan dengan baik untuk memecahkan masalah? 


Dalam hal ini 98% dari 100% yang ada pada kenyataannya bahwa yang dirugikan (Re: perlakuan kasar) adalah wanita (istri). Kejadian itu mendorongku untuk memukul keras keyboard laptop, mengutip sebuah kutipan yang tertera dalam sebuah hadist di agamaku : 


" Saling berwasiatlah kalian untuk berbuat baik kepada wanita. Pasalnya, mereka tercipta dari tulang rusuk. Yang paling bengkok dari tulang rusuk itu adalah yang paling atas. Jika berusaha meluruskannya, engkau akan membuatnya patah. Dan jika dibiarkan, ia akan terus bengkok. Karena itu, saling berwasiatlah kalian untuk berbuat baik kepada wanita. "


Kutipan kiasan ini maksudnya adalah, 

Seorang suami harus tegas kepada istrinya jika memang istrinya melakukan kesalahan, agar ia tidak mengulangi kesalahannya. Namun tegas bukan berarti memperlakukan kasar dan memkasa, melainkan menuntunnya dengan perlahan dan dengan kelembutan agar ia tidak patah dan sakit jiwa maupun raga.

" Memperlakukan perempuan itu seperti saat kita bernafas, saat kitamenghirup udara tulang rusuk akan meregang sempit, bila kita menghembuskan napas maka ia akan mengembang mengikuti bentuk aslinya dan memberikan kelegaan. "


Maksudnya adalah ada kalanya suami harus membimbing istrinya sesuai pada norma-norma yang ada agar hidup keduanya kelak dapat menghirup keselamatan, tetapi kadang perlu juga seorang suami memberikan kelapangan jalan agar sang istri mengikuti kodrat dan nalurinya sebagai perempuan yang ingin dicintai dan disayang. 


Lamunan panjaaang itu pun berakhir dengan hadist yang sudah melekat dalam benakku atas kejadian yang sedikitnya bisa memberi pelajaran untukku dan mungkin calon imam ku kelak (Ya kali aja gitu si calon imam lagi baca ini :p). 


-kisah nyata-

Jumat, 24 Mei 2013