Kamis, 27 Desember 2012

Alifa

Hari demi hari bocah perempuan itu bertambah prihatin dan gelisah. Waktu yang telah ia habiskan selama  15 tahun ini dirasa tak berarti. Sore yang mendung gelap dengan diiringi kilatan dan angin menghantarkannya untuk merenung. Ia duduk sembari menanti hujan di kursi pojok ruang tengah, sesekali ia memalingkan wajahnya ke jendela memandang keluar, wajahnya sendu penuh beban. Rambut hitamnya yang kelam sedikit ikal dan panjang terhempas angin dengan lembutnya. Matanya sendu sedikit menunduk.
Sore yang seharusnya kemerah-merahan itu kini surut, tertunda karena hujan. Bocah itu bernama Alifah, ia hidup sendiri tanpa orang tua dan sanak saudara. Ceritanya begitu panjang.
Tragedi bencana alam yang telah terjadi di kotanya beberapa tahun lalu ternyata menyisakan kepedihan baginya. Saat sebelum itu semua terjadi....
"BRAK!!!"
"BANGUN NAK!! GEMPA!!!!"
terdengar sayup teriakan ibu. Kamar masih tertutup rapat seperti matanya yang tak kunjung terbuka sadar akan gempa itu. Ayah segera membangunkan dengan menarik pergelangan tanganku, harapanku. Ia mendobrak semua  pintu. Namun harapan hanyalah harapan, tak dapat dihindari dan harus diikhlasi. Dalam perjalannya menuju kamar untuk meraih tanganku itu pupus dimakan amukan gempa berkekuatan 5,9 skala richter. Puing-puing yang kokoh, rubuh dengan mudahnya. Tubuh itu... ya itu adalah tubuh ayah Alifah. Badannya yang masih tampak segar itu lunglai tergeletak di lantai, diatas tubuhnya penuh dengan puing-puing bangunan. 
"AYAH !!"
Alifah pergi tak sanggup melihat keadaan jasad ayahandanya, ia keluar mencari ibundanya dengan penuh rasa takut yang berkecamuk di dalam dada. 
"Ibu mana?? Ibu mana??" Alifah bertanya pada sekerumunan tetangga desanya. 
Tak satupun yang menjawab. Atmosfer berubah total saat setelah kejadian gempa itu berlangsung. Isak tangis terdengar dari sana dan sini. Semua remuk, penuh, ramai, cemas, bingung, dan penuh kegelisahan.   
"IBUU!!"
Sudah banyak korban yang dilahap oleh gempa itu. Ya. Termasuk ayah dan ibu Alifah. 

**
Alifah sang sebatang kara.
Sejak saat bencana alam itu, ia hidup sendiri tanpa ada satupun yang menemani dalam ruang teduhnya. Alifah tak tahu lagi harus mencari sesuap nasi darimana, ia hanya seorang bocah berumur 15 tahun. Bantuan dan kasih sayang dari tetangga dan kadang teman-temannya lah yang ia dapatkan saat ini. Selebihnya tidak ada. Untuk mendapatkan hal-hal yang ia sukai pun harus rela membantu mencuci piring di warung depan rumahnya. Lima belas ribu per harinya. 
Terbesit di pikirannya... 
"Apakah aku harus menikah? Agar hidupku layak. Lalu siapa ?". Sebuah konflik batin melanda Alifah. 
Lamunannya yang panjang itu pun melanglang buana. Hingga tak disadari, awan mendung pun mulai redup dan berubah warna menjadi biru tua kehitaman. 
"Kwok, kwok, kwok". Suara sekerumunan burung walet yang pulang menuju sangkarnya terdengar sedikit bising, membuat Alifah tersadar dari lamunan panjangnya. Ia mulai menutup jendela dan pintu rumah kecilnya itu. Ia nyalakan lampu badai dengan penerangan api yang kecil dan redup, membuat sudut ruangan bewarna kuning keemasan semburat hitam. Mengenaskan. Hanya untuk membayar listrik sebagai penerangan dalam rumah saja ia tidak sanggup. Alifah adalah seorang bocah dibawah umur yang sudah berpola pikir dewasa, ia termasuk anak yang rajin berkomunikasi dengan Tuhannya. 
Sesaat ia bentangkan sajadah yang sedikit kumal itu disudut ruang setelah mengambil air wudhu. Dalam tiap sujudnya, tak lupa ia kirimkan doa untuk kedua orangtuanya yang telah tiada. Sesekali ia menitihkan air mata saat mengingat masa-masa indah bersama kedua orangtuanya dahulu. Namun ia tegar dan tak rentan. Alifah berharap ia bisa bertemu lagi dengan kedua orangtuanya di surga kelak. 

**
Mentari pagi yang bewarna merah kekuningan mulai mengintip dari balik-balik elemen bumi. Masih malu-malu tapi tak enggan untuk menampakkan dirinya. Sang mentaripun bersinar cerah pagi itu. Alifah sudah bangun sejak pagi buta saat adzan subuh tiba. Ia mulai bergegas untuk mencari sumber mata pencaharian sampingan lainnya. Alifah seorang yang tak kenal lelah dan putus asa, semangatnya selalu berkobar walau dalam lubuk hatinya merasakan kepedihan dan tekanan yang sangat berat. 
Akhirnya ia mendapatkannya, membersihkan rumah milik seorang tetangga desanya yang terkenal konglomerat namun tak merakyat menjadi pekerjaan barunya minggu ini. Alifah merasa sangat bersyukur dan berterimakasih atas pekerjaan ini. Pagi itu, ia mulai bekerja. 
"Tok tok tok !"
"Permisi saya mau membersihkan kamarnya. Boleh saya masuk ? ". Tanya Alifah dari luar kamar, mencoba berinteraksi dengan orang di dalam. 
"Masuk". Sahut suara laki-laki dari dalam.
Alifa bergegas masuk agar pekerjaannya cepat selesai, karena ia masih harus mencuci piring di warung mie ayam mbok Sadi.
Terkejut, campur bingung harus melakukan apa saat ia baru saja membuka ganggang pintu kamar tersebut. Terlihat disana seorang pria yang tengah mabuk minuman haram tak menyehatkan. Alifah hanya bisa menundukkan pandangannya dan bergegas membersihkan kamar. Ia lemah dan sedikit takut.
"Hei.... sapa kamu ?? Orang baru ya? Pembantu ya ? Mau ngapain kamu ha? Ohh butuh uang ya?? hahaha dasar miskin". Lelaki separuh baya bertingkah sok tuan muda itu memperolok Alifah dengan membabi buta tanpa iba. Alifa tak sanggup menahan kemarahan yang bergejolak dalam hatinya dan memutuskan untuk pergi keluar dan meinggalkan pekerjaan itu selama-lamanya tanpa seucap alasan kepada sang majikan. Ia merasa hidupnya selalu disia-siakan orang lain, Alifa selalu mengalami tekanan batin akan keadaan hidupnya kini.

**
Ufuk timur telah tiba beriringan dengan sang mentari yang bersinar kuning. Bumi yang gelap kini kembali terang sehingga semua kembali dalam keadaan riang. Begitupun dengan Alifa, ia mengayunkan tangan-tangan cekatannya untuk menarik ember berisi air dari dasar sumur tua itu. Semangat yang berkobar dalam dadanya tak pernah padam,walau pikirannya selalu melanglang buana memikirkan nasibnya esok hari.
Sore menjelang, semua pekerjaan rumah dan pekerjaan membantu mbok Sadi sudah terselesaikan. Alifa pun duduk di atas ranjang usangnya, menatap sayu penuh kekosongan. Benaknya yang selalu berpikir keras dan negatif itu tiba-tiba terdengar bisikan halus, dingin dan lembut bagaikan nafas surgawi. Bisikan itu menyadarkannya...
"Ya Allah, maafkan aku yang selalu sedih dan muram. Selalu merasa tak beruntung. Aku bahkan tidak peka akan nikmat-Mu yang mencukupkanku ini."
Alifa tersadar, apa yang selalu ia pikirkan bahwa nasibnya selalu tidak beruntung itu terhapus akan bisikan surgawi.
Nasib dan takdir yang diberikan Tuhan memang tak selamanya sama seperti apa yang kita inginkan. Segalanya yang telah ditentukan Tuhan untuk kita adalah yang terbaik dari yang paling baik. Apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut-Nya. Semua sudah dicantumkan dalam garis takdir yang ditentukan Tuhan.
Kini Alifa lebih mengerti dan menghargai hidup. Semua ia kerjakan dengan ikhlas. Keikhlasannya pun berbuah manis. Ia dipersunting oleh seorang pemuda gagah dan tampan yang juga ikhlas menikahi Alifa dalam kondisi hidupnya  yang seperti itu.
Percayalah bahwa semua yang dikerjakan dengan ikhlas pasti akan berbuah manis. Karenanya jangan pernah menunggu-nunggu kapan datangnya buah manis itu. Semakin kita menunggunya, semakin kita tak ikhlas dan tak pandai bersyukur.

**

O


Gelas-gelas kaca bernilai jutaan rupiah pecah disana-sini, berserakan tak beraturan. Rumah mewah dengan segala perabotan mahal dari berbagai negara ini diselimuti aura setan. Penuh dengan kebisingan yang luar biasa. Kututup kedua telingaku, kumulai memaksa mataku untuk segera terpejam dan terlelap. Namun, usaha ini tak kunjung berhasil, justru semakin larut semakin kencang suaranya. Tak terasa mengalirlah air mata ini untuk yang kesekian kalinya. Entah apa yang aku alami sekarang terlihat seperti pola hidup dan kebiasaan. Ya, mereka selalu bertengkar, mencekcokkan hal-hal yang terkadang tak ku mengerti. Hal-hal sepele yang dibesar-besarkan, meributkan suatu hal yang hanya akan memakan waktu jika diselesaikan dengan amarah. Beginilah suasana keluargaku yang sering dibangga-banggakan orang lain karena kekayaannya. Sungguh, aku tidak mengerti akan siklus kehidupan ini. Jika diberi dua pilhan, maka aku akan lebih memilih menjadi seorang budak yang miskin namun merasakan ketentraman dalam keluarga yang luar biasa. Dibandingkan harus hidup menjadi seorang puteri raja yang tidak pernah merasakan indahnya kebersamaan dan tak mengenal apa itu kasih sayang.
Hari mulai gelap, tak kuhiraukan lagi suara ribut mereka. Aku terlelap di dalam ricuhnya malam disaat yang lain merasakan keheningan. Pagi pun menjelang. Hampa. Dalam hati ini kurasakan kehampaan yang maha dashyat. Tidak ada lagi yang membangunkanku dengan kecupan dan sapaan hangat seperti yang dahulu pernah kurasakan saat cinta mereka sedang mekar. Namun, harapan itu kini telah layu. Aku mulai beranjak dari singgahsana tidurku, dan duduk sejenak untuk mengembalikan mood ku. Setiap pagi aku selalu berharap agar hari ini akan lebih baik. Aku mulai menuruni anak tangga menuju dapur. Sepi. Tak ada seorangpun yang terbangun pagi itu. Mereka masih terjaga dalam tempat yang berbeda. Aku hanya melihat pecahan-pecahan gelas, piring, pot, vas, bingkai foto, dan perabotan lainnya yang tidak dapat aku sebutkan satu per satu. Sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan ini. Kuambil cangkir yang masih tersisa dalam almari, secangkir susu selalu menemani pagiku. Walau sudah bukan segelas lagi. Jam berdentang, tanda aku harus beranjak kuliah. Kulewati persimpangan jalan komplek dengan langkah yang tak terlalu terburu-buru. Entah, aku lebih suka jalan kaki menuju halte bis walau beberapa mobil bermiliyaran rupiah telah terpajang rapi di garasi rumahku. Aku inigin hidup mandiri, dan tidak membiasakan diri dalam kehidupan hedonisme. Halte bis telah tampak, kupercepat langkah kakiku. Dalam perjalanan itu tak sengaja aku melihat seorang laki-laki separuh baya yang berjalan menyusuri jalanan dengan langkah kaki yang tergesa-gesa, ia membawa sekuncup bunga mawar segar di tangan kanannya. Laki-laki itu memakai headset di salah satu telinganya. Langkahnya dipercepat. Entah mengapa aku ingin mengikutinya. Ku ikuti dan mengurungkan niatku untuk kuliah. Ia menuju sebuah bangunan, disana terpampang nama. “YAYASAN TUNA WICARA DAN TUNA RUNGU”. Ya, aku sempat terkejut mengapa laki-laki itu mengunjungi sebuah yayasan? Penasaranku bertambah, kulanjutkan mengikuti langkah kaki laki-laki itu. Suasana berubah saat aku masuk dalam lingkup wilayah yayasan itu, hening. Tetapi kudapati orang-orang disana-sini. Mereka tidak bersuara namun bercakap-cakap. Ia pun berhenti, disana ada wanita yang ia temui. Aku hampir tidak bisa mendengar percakapan mereka, aku mendekat seolah mencari-cari ruangan. Aku pasang telingaku, menelisik ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tak satupun kata-kata yang kudengar, padahal jarakku sudah sangat dekat dengan mereka. Aku mulai memasang mata. Sejenak aku berpikir, dan berkata dalam hati. “Oh! Sadarlah, ini yayasan tuna wicara dan tuna rungu!”. Aku mulai mengerti mengapa tempat ini sunyi, mengapa laki-laki itu memakai alat pendengar seperti headset, dan mengapa aku tidak mendengar sama sekali percakapan mereka. Perhatianku tetap tertuju pada mereka, mereka kini bercakap-cakap dengan jari-jari mereka. Ya, itu yang pernah aku lihat di sinetron-sinetron saat tokoh mainnya memerankan orang bisu. Mereka tengah asyik bercakap-cakap, dan terlihat mesra. Mereka diliputi aura kehangatan kasih sayang dan ketentraman. Bertolak belakang dengan keadaan keluargaku. Aku terdiam merenung, sepintas niat ini melintas di pikiranku. Aku pun bergegas pulang.
Rumah. Barang-barang berserakan itu sepertinya sudah dibereskan mbok Mini. Ku buka pintu kamar mama, ia sudah pulang kerja, alu ku buka pintu kamar papa, hasilnya sama. Aku mengajak mereka untuk keluar, terpaksa aku berbohong. “Mah, Pah. Aku ingin pergi makan keluar dengan kalian. Mau ya?”. Mereka bertatapan satu sama lain dengan sekejap. “Kalau mama sih mau mau aja, ga tau tuh kalau papa kamu, kan dia sibuk banget sama kerjaannya”. Jawab mama dengan sedikit menyinggung papa. “Enak aja, kamu tu yang sibuk. Anak ga pernah diurus. Kerjaaa terus yang diurus”. Papa seperti tak mau kalah. “Bukan ini jawaban yang aku harapkan dari kalian mah, pah”. Akhirnya aku ikut bicara. Mereka terdiam, dan bergegas menyalakan mesin mobil. Kami berangkat, aku pun menunjukkan jalan. Sampailah kami di halaman depan yayasan. “Ini restorannya?”. Tanya mama. “Restoran apa nak ini?”. Tanya papa. “Udah.. ayo masuk aja”. Aku membawa mereka masuk ke dalam sebelum mereka membaca papan nama di sudut halaman. Sesampainya di dalam, mereka tercengang akan kesunyian didalam keramaian dari sekian orang di yayasan itu. Mereka melihat sekelilingnya, dan terpaku pada dua orang yang sedang duduk berdua di salah satu bangku taman,  seorang laki-laki tuna rungu dan wanita tuna wicara yang sudah lanjut usia. Mereka bercengkerama mesra di bawah cahaya bulan malam itu, hampir tak terdengar suara mereka seolah berbisik. Tapi mereka saling mengerti walaupun Tuhan memberi mereka kekurangan. Komunikasi mereka lancar, walau susah untuk mereka mengerti. Mereka mencoba untuk mengerti isi hati satu sama lain. Mama dan Papa terdiam, tercengang melihat kehangatan kedua pasangan yang memiliki kekurangan dalam berkomunikasi, namun saling mengerti dan memahami pasangannya. Sekejap berlinang air mataku melihat mama dan papa saling peluk meminta maaf. Mereka menyadari, bahwa orang yang tidak sempurna saja selalu mensyukuri kekurangan mereka, bahkan selalu mencoba memahami isi hati orang lain walaupun mereka susah memahaminya. Ya, menghargai dan saling mengerti adalah kunci kebahagiaan. Terimakasih Tuhan, Kau telah menyadarkan mereka. 

Nb: Judul O untuk bacaan diatas memiliki makna, bahwa sesungguhnya masalah dalam hidup ini memang hanya berputar-putar. Setelah konflik lalu penyelesaian, begitu seterusnya. Namun, seberapa rumit dan terulang-ulangnya masalah hidup, pasti ada akhirnya. Seperti saat kita membentuk huruf O, dimana ada titik awal dan titik akhirnya.

*cerpen fiksi

Sosok Tan Malaka Si Setan Merah


Tan Malaka adalah sosok yang dapat menjadikan Indonesia bangun dari keterpurukan sejak masa lahirnya kolonialisme Belanda hingga era baru atau bahkan hari ini. Dengan niatnya yang kuat untuk membuat sebuah pergerakan melalui pemikirannya madilog, Tan Malaka mengajak kawan-kawan seperjuangannya untuk bersama-sama merumuskan dan memperjuangkan misinya dengan penuh semangat dan idealisme yang kokoh. Pergerakan yang dijanjikan Tan Malaka ini berlangsung cukup lama hingga ia harus mengalami masa kritisnya karena menderita sakit yang cukup parah. Namun, Tan Malaka tak gentar untuk menepati janjinya membuat pergerakan untuk bangsa ini dengan meneruskan pergerakan itu kepada generasi berikutnya.
Seiring berjalannya pergerakan itu hingga sampailah pada peristiwa reformasi yang terjadi pada Mei 1998, gerakan mahasiswa besar-besaran yang menjadi harapan untuk perubahan yang lebih baik lagi justru menjadi lubang jebakan bagi mereka. Cita-cita perubahan yang dahulu dielu-elukan mendadak disingkirkan dan dilupakan. Secerca harapan itu luluh karena iming-iming kehidupan yang pragmatisme telah menjangkiti mereka. Media mengelu-elukan mahasiswa atas jasanya melengserkan Soeharto atas nama mementingkan kepentingan rakyat. Ilusi kemenangan perihal telah berhasilnya gerakan mahasiswa itu justru menjadikan lubang jebakan sehingga keadaan dan kondisi semakin terpuruk. Mereka telah sibuk dengan urusan sektoralnya karena merasa telah berhasil melaksanakan cita-cita pergerakan. Hingga tak ada satupun yang menyikapi dan merisaukan tentang dilaksanakannya amandemen UUD 1945 beserta efek yang ditimbulkan setelah itu. Tanpa disadari lagi mereka telah hilang antisipatif hingga lepas kendali karena tidak adanya kesadaran akan cita-cita pergerakan yang telah mereka janjikan untuk nusa dan bangsa.
Cita-cita pergerakan telah ditinggalkan mentah-mentah oleh sebagian kelompok yang lebih memilih untuk membebaskan nasibnya berkelana di tengah kehidupan yang mengilaukan, terseret dalam perang oposisi gerakan perebutan partai yang penuh dengan iming-iming uang dan kekuasaan. Namun tidak untuk sebagian lain yang belum menyerah dan terus maju untuk meneruskan cita-cita pergerakan menegakkan kedaulatan demi mencapai kesejahteraan rakyat, bangsa, dan negara, serta mementingkan kepentingkan rakyat, dan menyusun kepentingan politik sepenuhnya. 

Minggu, 09 Desember 2012