Gelas-gelas kaca bernilai jutaan rupiah pecah
disana-sini, berserakan tak beraturan. Rumah mewah dengan segala perabotan
mahal dari berbagai negara ini diselimuti aura setan. Penuh dengan kebisingan
yang luar biasa. Kututup kedua telingaku, kumulai memaksa mataku untuk segera
terpejam dan terlelap. Namun, usaha ini tak kunjung berhasil, justru semakin larut
semakin kencang suaranya. Tak terasa mengalirlah air mata ini untuk yang kesekian
kalinya. Entah apa yang aku alami sekarang terlihat seperti pola hidup dan
kebiasaan. Ya, mereka selalu bertengkar, mencekcokkan hal-hal yang terkadang
tak ku mengerti. Hal-hal sepele yang dibesar-besarkan, meributkan suatu hal
yang hanya akan memakan waktu jika diselesaikan dengan amarah. Beginilah
suasana keluargaku yang sering dibangga-banggakan orang lain karena kekayaannya.
Sungguh, aku tidak mengerti akan siklus kehidupan ini. Jika diberi dua pilhan,
maka aku akan lebih memilih menjadi seorang budak yang miskin namun merasakan
ketentraman dalam keluarga yang luar biasa. Dibandingkan harus hidup menjadi
seorang puteri raja yang tidak pernah merasakan indahnya kebersamaan dan tak
mengenal apa itu kasih sayang.
Hari mulai gelap, tak kuhiraukan lagi
suara ribut mereka. Aku terlelap di dalam ricuhnya malam disaat yang lain
merasakan keheningan. Pagi pun menjelang. Hampa. Dalam hati ini kurasakan
kehampaan yang maha dashyat. Tidak ada lagi yang membangunkanku dengan kecupan
dan sapaan hangat seperti yang dahulu pernah kurasakan saat cinta mereka sedang
mekar. Namun, harapan itu kini telah layu. Aku mulai beranjak dari singgahsana
tidurku, dan duduk sejenak untuk mengembalikan mood ku. Setiap pagi aku selalu berharap agar hari ini akan lebih
baik. Aku mulai menuruni anak tangga menuju dapur. Sepi. Tak ada seorangpun
yang terbangun pagi itu. Mereka masih terjaga dalam tempat yang berbeda. Aku
hanya melihat pecahan-pecahan gelas, piring, pot, vas, bingkai foto, dan
perabotan lainnya yang tidak dapat aku sebutkan satu per satu. Sepertinya aku sudah
mulai terbiasa dengan ini. Kuambil cangkir yang masih tersisa dalam almari,
secangkir susu selalu menemani pagiku. Walau sudah bukan segelas lagi. Jam
berdentang, tanda aku harus beranjak kuliah. Kulewati persimpangan jalan
komplek dengan langkah yang tak terlalu terburu-buru. Entah, aku lebih suka
jalan kaki menuju halte bis walau beberapa mobil bermiliyaran rupiah telah
terpajang rapi di garasi rumahku. Aku inigin hidup mandiri, dan tidak
membiasakan diri dalam kehidupan hedonisme.
Halte bis telah tampak, kupercepat langkah kakiku. Dalam perjalanan itu tak
sengaja aku melihat seorang laki-laki separuh baya yang berjalan menyusuri
jalanan dengan langkah kaki yang tergesa-gesa, ia membawa sekuncup bunga mawar
segar di tangan kanannya. Laki-laki itu memakai headset di salah satu
telinganya. Langkahnya dipercepat. Entah mengapa aku ingin mengikutinya. Ku
ikuti dan mengurungkan niatku untuk kuliah. Ia menuju sebuah bangunan, disana terpampang nama.
“YAYASAN TUNA WICARA DAN TUNA RUNGU”. Ya, aku sempat terkejut mengapa laki-laki
itu mengunjungi sebuah yayasan? Penasaranku bertambah, kulanjutkan mengikuti
langkah kaki laki-laki itu. Suasana berubah saat aku masuk dalam lingkup
wilayah yayasan itu, hening. Tetapi kudapati orang-orang disana-sini. Mereka
tidak bersuara namun bercakap-cakap. Ia pun berhenti, disana ada wanita yang ia
temui. Aku hampir tidak bisa mendengar percakapan mereka, aku mendekat seolah
mencari-cari ruangan. Aku
pasang telingaku, menelisik ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tak
satupun kata-kata yang kudengar, padahal jarakku sudah sangat dekat dengan
mereka. Aku mulai memasang mata. Sejenak aku berpikir, dan berkata dalam hati.
“Oh! Sadarlah, ini yayasan tuna wicara dan tuna rungu!”. Aku mulai mengerti
mengapa tempat ini sunyi, mengapa laki-laki itu memakai alat pendengar seperti headset, dan mengapa aku tidak mendengar
sama sekali percakapan mereka. Perhatianku tetap tertuju pada mereka, mereka
kini bercakap-cakap dengan jari-jari mereka. Ya, itu yang pernah aku lihat di
sinetron-sinetron saat tokoh mainnya memerankan orang bisu. Mereka tengah asyik
bercakap-cakap, dan terlihat mesra. Mereka diliputi aura kehangatan kasih
sayang dan ketentraman. Bertolak belakang dengan keadaan keluargaku. Aku
terdiam merenung, sepintas niat ini melintas di pikiranku. Aku pun bergegas
pulang.
Rumah. Barang-barang berserakan itu sepertinya
sudah dibereskan mbok Mini. Ku
buka pintu kamar mama, ia sudah pulang kerja, alu ku buka pintu kamar papa, hasilnya
sama. Aku mengajak mereka
untuk keluar, terpaksa aku berbohong. “Mah, Pah. Aku ingin pergi makan keluar dengan kalian. Mau
ya?”. Mereka bertatapan satu sama lain dengan sekejap. “Kalau mama sih mau mau
aja, ga tau tuh kalau papa kamu, kan dia sibuk banget sama kerjaannya”. Jawab
mama dengan sedikit menyinggung papa. “Enak aja, kamu tu yang sibuk. Anak ga
pernah diurus. Kerjaaa terus yang diurus”. Papa seperti tak mau kalah. “Bukan
ini jawaban yang aku harapkan dari kalian mah, pah”. Akhirnya aku ikut bicara. Mereka
terdiam, dan bergegas menyalakan mesin mobil. Kami berangkat, aku pun
menunjukkan jalan. Sampailah kami di halaman depan yayasan. “Ini restorannya?”.
Tanya mama. “Restoran apa nak ini?”. Tanya papa. “Udah.. ayo masuk aja”. Aku
membawa mereka masuk ke dalam sebelum mereka membaca papan nama di sudut halaman.
Sesampainya di dalam, mereka tercengang akan kesunyian didalam keramaian dari
sekian orang di yayasan itu. Mereka melihat sekelilingnya, dan terpaku pada dua
orang yang sedang duduk berdua di salah satu bangku taman, seorang laki-laki tuna rungu dan wanita tuna
wicara yang sudah lanjut usia. Mereka bercengkerama mesra di bawah cahaya bulan
malam itu, hampir tak terdengar suara mereka seolah berbisik. Tapi mereka
saling mengerti walaupun Tuhan memberi mereka kekurangan. Komunikasi mereka
lancar, walau susah untuk mereka mengerti. Mereka mencoba untuk mengerti isi
hati satu sama lain. Mama dan Papa terdiam, tercengang melihat kehangatan kedua
pasangan yang memiliki kekurangan dalam berkomunikasi, namun saling mengerti
dan memahami pasangannya. Sekejap berlinang air mataku melihat mama dan papa
saling peluk meminta maaf. Mereka menyadari, bahwa orang yang tidak sempurna
saja selalu mensyukuri kekurangan mereka, bahkan selalu mencoba memahami isi hati orang lain walaupun mereka susah memahaminya.
Ya, menghargai dan saling mengerti adalah kunci kebahagiaan. Terimakasih Tuhan,
Kau telah menyadarkan mereka.
Nb: Judul O untuk bacaan diatas memiliki makna, bahwa sesungguhnya masalah dalam hidup ini memang hanya berputar-putar. Setelah konflik lalu penyelesaian, begitu seterusnya. Namun, seberapa rumit dan terulang-ulangnya masalah hidup, pasti ada akhirnya. Seperti saat kita membentuk huruf O, dimana ada titik awal dan titik akhirnya.
*cerpen fiksi
*cerpen fiksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar