Kamis, 27 Desember 2012

O


Gelas-gelas kaca bernilai jutaan rupiah pecah disana-sini, berserakan tak beraturan. Rumah mewah dengan segala perabotan mahal dari berbagai negara ini diselimuti aura setan. Penuh dengan kebisingan yang luar biasa. Kututup kedua telingaku, kumulai memaksa mataku untuk segera terpejam dan terlelap. Namun, usaha ini tak kunjung berhasil, justru semakin larut semakin kencang suaranya. Tak terasa mengalirlah air mata ini untuk yang kesekian kalinya. Entah apa yang aku alami sekarang terlihat seperti pola hidup dan kebiasaan. Ya, mereka selalu bertengkar, mencekcokkan hal-hal yang terkadang tak ku mengerti. Hal-hal sepele yang dibesar-besarkan, meributkan suatu hal yang hanya akan memakan waktu jika diselesaikan dengan amarah. Beginilah suasana keluargaku yang sering dibangga-banggakan orang lain karena kekayaannya. Sungguh, aku tidak mengerti akan siklus kehidupan ini. Jika diberi dua pilhan, maka aku akan lebih memilih menjadi seorang budak yang miskin namun merasakan ketentraman dalam keluarga yang luar biasa. Dibandingkan harus hidup menjadi seorang puteri raja yang tidak pernah merasakan indahnya kebersamaan dan tak mengenal apa itu kasih sayang.
Hari mulai gelap, tak kuhiraukan lagi suara ribut mereka. Aku terlelap di dalam ricuhnya malam disaat yang lain merasakan keheningan. Pagi pun menjelang. Hampa. Dalam hati ini kurasakan kehampaan yang maha dashyat. Tidak ada lagi yang membangunkanku dengan kecupan dan sapaan hangat seperti yang dahulu pernah kurasakan saat cinta mereka sedang mekar. Namun, harapan itu kini telah layu. Aku mulai beranjak dari singgahsana tidurku, dan duduk sejenak untuk mengembalikan mood ku. Setiap pagi aku selalu berharap agar hari ini akan lebih baik. Aku mulai menuruni anak tangga menuju dapur. Sepi. Tak ada seorangpun yang terbangun pagi itu. Mereka masih terjaga dalam tempat yang berbeda. Aku hanya melihat pecahan-pecahan gelas, piring, pot, vas, bingkai foto, dan perabotan lainnya yang tidak dapat aku sebutkan satu per satu. Sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan ini. Kuambil cangkir yang masih tersisa dalam almari, secangkir susu selalu menemani pagiku. Walau sudah bukan segelas lagi. Jam berdentang, tanda aku harus beranjak kuliah. Kulewati persimpangan jalan komplek dengan langkah yang tak terlalu terburu-buru. Entah, aku lebih suka jalan kaki menuju halte bis walau beberapa mobil bermiliyaran rupiah telah terpajang rapi di garasi rumahku. Aku inigin hidup mandiri, dan tidak membiasakan diri dalam kehidupan hedonisme. Halte bis telah tampak, kupercepat langkah kakiku. Dalam perjalanan itu tak sengaja aku melihat seorang laki-laki separuh baya yang berjalan menyusuri jalanan dengan langkah kaki yang tergesa-gesa, ia membawa sekuncup bunga mawar segar di tangan kanannya. Laki-laki itu memakai headset di salah satu telinganya. Langkahnya dipercepat. Entah mengapa aku ingin mengikutinya. Ku ikuti dan mengurungkan niatku untuk kuliah. Ia menuju sebuah bangunan, disana terpampang nama. “YAYASAN TUNA WICARA DAN TUNA RUNGU”. Ya, aku sempat terkejut mengapa laki-laki itu mengunjungi sebuah yayasan? Penasaranku bertambah, kulanjutkan mengikuti langkah kaki laki-laki itu. Suasana berubah saat aku masuk dalam lingkup wilayah yayasan itu, hening. Tetapi kudapati orang-orang disana-sini. Mereka tidak bersuara namun bercakap-cakap. Ia pun berhenti, disana ada wanita yang ia temui. Aku hampir tidak bisa mendengar percakapan mereka, aku mendekat seolah mencari-cari ruangan. Aku pasang telingaku, menelisik ingin tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Tak satupun kata-kata yang kudengar, padahal jarakku sudah sangat dekat dengan mereka. Aku mulai memasang mata. Sejenak aku berpikir, dan berkata dalam hati. “Oh! Sadarlah, ini yayasan tuna wicara dan tuna rungu!”. Aku mulai mengerti mengapa tempat ini sunyi, mengapa laki-laki itu memakai alat pendengar seperti headset, dan mengapa aku tidak mendengar sama sekali percakapan mereka. Perhatianku tetap tertuju pada mereka, mereka kini bercakap-cakap dengan jari-jari mereka. Ya, itu yang pernah aku lihat di sinetron-sinetron saat tokoh mainnya memerankan orang bisu. Mereka tengah asyik bercakap-cakap, dan terlihat mesra. Mereka diliputi aura kehangatan kasih sayang dan ketentraman. Bertolak belakang dengan keadaan keluargaku. Aku terdiam merenung, sepintas niat ini melintas di pikiranku. Aku pun bergegas pulang.
Rumah. Barang-barang berserakan itu sepertinya sudah dibereskan mbok Mini. Ku buka pintu kamar mama, ia sudah pulang kerja, alu ku buka pintu kamar papa, hasilnya sama. Aku mengajak mereka untuk keluar, terpaksa aku berbohong. “Mah, Pah. Aku ingin pergi makan keluar dengan kalian. Mau ya?”. Mereka bertatapan satu sama lain dengan sekejap. “Kalau mama sih mau mau aja, ga tau tuh kalau papa kamu, kan dia sibuk banget sama kerjaannya”. Jawab mama dengan sedikit menyinggung papa. “Enak aja, kamu tu yang sibuk. Anak ga pernah diurus. Kerjaaa terus yang diurus”. Papa seperti tak mau kalah. “Bukan ini jawaban yang aku harapkan dari kalian mah, pah”. Akhirnya aku ikut bicara. Mereka terdiam, dan bergegas menyalakan mesin mobil. Kami berangkat, aku pun menunjukkan jalan. Sampailah kami di halaman depan yayasan. “Ini restorannya?”. Tanya mama. “Restoran apa nak ini?”. Tanya papa. “Udah.. ayo masuk aja”. Aku membawa mereka masuk ke dalam sebelum mereka membaca papan nama di sudut halaman. Sesampainya di dalam, mereka tercengang akan kesunyian didalam keramaian dari sekian orang di yayasan itu. Mereka melihat sekelilingnya, dan terpaku pada dua orang yang sedang duduk berdua di salah satu bangku taman,  seorang laki-laki tuna rungu dan wanita tuna wicara yang sudah lanjut usia. Mereka bercengkerama mesra di bawah cahaya bulan malam itu, hampir tak terdengar suara mereka seolah berbisik. Tapi mereka saling mengerti walaupun Tuhan memberi mereka kekurangan. Komunikasi mereka lancar, walau susah untuk mereka mengerti. Mereka mencoba untuk mengerti isi hati satu sama lain. Mama dan Papa terdiam, tercengang melihat kehangatan kedua pasangan yang memiliki kekurangan dalam berkomunikasi, namun saling mengerti dan memahami pasangannya. Sekejap berlinang air mataku melihat mama dan papa saling peluk meminta maaf. Mereka menyadari, bahwa orang yang tidak sempurna saja selalu mensyukuri kekurangan mereka, bahkan selalu mencoba memahami isi hati orang lain walaupun mereka susah memahaminya. Ya, menghargai dan saling mengerti adalah kunci kebahagiaan. Terimakasih Tuhan, Kau telah menyadarkan mereka. 

Nb: Judul O untuk bacaan diatas memiliki makna, bahwa sesungguhnya masalah dalam hidup ini memang hanya berputar-putar. Setelah konflik lalu penyelesaian, begitu seterusnya. Namun, seberapa rumit dan terulang-ulangnya masalah hidup, pasti ada akhirnya. Seperti saat kita membentuk huruf O, dimana ada titik awal dan titik akhirnya.

*cerpen fiksi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar